Mas Karyo yang Romantis

By Rednino

Usia pernikahan Teh Ijah dan Mas Karyo telah menginjak tahun ke 15. Menurut Teh Ijah, Mas Karyo itu suami yang romantis... tis… tis... “Mas Karyo ngga pernah lupa ulang tahun abi (saya). Setiap abi ulang tahun ga pernah keduluan orang lain. Jam 12 malam TENG langsung bangunin dan ngecup kening sambil bilang selamat ulang tahun ya Mah…” wajah Teh Ijah berbinar menceritakan keromantisan Mas Karyo.

Mendengar cerita teh Ijah, kening ceu mar berkerut. “Suami saya mah ga romantis, tapi dia selalu tahu apa yang saya suka. Bulan lalu dia ngajak saya jalan-jalan ke Sayati. Rencana awal sih nuker antingnya Inez yang ilang sebelah. Eh, pas udah dapet anting Inez sepasang, si Jun bilang sok mamah milih pingin beli apa? Kagetnya minta ampun saya dengernya teh. Apalagi lihat kalung yang gede-gede. Langsung aja melirik ke bagian kalung. Tapi jadi inget. Oh iya takut uangnya kurang, jangan-jangan cuma cukup buat beli cincin. Udah aja saya tanya budgetnya berapa ternyata cukup buat 8 gram emas putih. Ya udah jadi aja saya dapet gelang ini.” Ceu mar menggulung lengan panjangnya dan memperlihatkan sebuah gelang emas putih yang berkilau. Trink… trink… trink…

Teh Ijah menyimak dengan rasa penasaran dan kagum. Segera pikirannya menerawang… Seandainya Mas Karyo juga membelikannya gelang atau bahkan kalung. Ah sepertinya mustahil. Mimpi kali yeee… Semua perhiasannya dari mulai kalung yang besar dengan liontin yang sangat berat, gelang rantai yang kadang bikin pergelangannya pegel, anting yang membuat lubang tindikannya melebar, juga cincinnya yang berderet dengan tiap jarinya ada tiga cincin berkilauan… juga gelang kakinya yang membuat kedatangannya selalu diketahui orang lain karena bunyi gemerincingnya… semua itu dibelinya sendiri. Bukan dari Mas karyo. Sejenak Teh Ijah merasa sedih. Tetapi sekian detik kemudian, ia menghibur dirinya. Toh, menurut Teh Ijah, Mas Karyo memang romantis. Pernah suatu siang tiba-tiba Mas Karyo mengirimkan makan siang untuk Teh Ijah. Teh Ijah tidak menyangka suaminya sedemikian perhatian. Mengharukan…

Lamunan Teh ijah begitu dalam sehingga kelanjutan cerita tentang ketidakromantisan suami ceu mar yang ternyata diam-diam membelikan tanah untuk membuat kontrakan membuat ceu mar tercengang lantas kegirangan tak bisa disimaknya dengan baik. Mendadak Teh Ijah kangen berat pada Mas Karyo.

“Mar... yuk ah pulang udah sore, kasihan anak-anak.” Teh Ijah menghabiskan minumnya tak bersisa.

Tak terasa waktu semakin senja, mereka memutuskan untuk pulang meninggalkan café itu. Teh Ijah mengajak Ceu Mar untuk membeli pizza untuk anak-anak.

“Kamu ga beli sekalian buat anak-anak, Mar?” Tanya Teh Ijah.

Kening Ceu Mar berkerut, “Hadeeeuh! Jangar (sakit kelapa) Ijah! Saya kan mau beli tanah yang 600 meter itu! Kalau sekarang jajan, tanah itu ga akan kebeli!” Sahut Ceu Mar sambil menepuk keningnya. ‘Dasar tuan tanah, yang ada dipikirannya cuma beli tanah… tanah… dan tanah’ pikir Teh Ijah.

Setibanya di rumah, anak-anak tidak ada di rumah.

“Lho, Pah, anak-anak ke mana?”

“Ada di nenek. Nanti aja kita jemput. Sekarang kita ke Sayati yuk!” kata Mas Karyo.

Dengan motor mereka pergi menuju Sayati. Dalam perjalanan Teh Ijah penasaran.

“Emang beli apa Mas? Kenapa harus ke Sayati?” Tanya Teh Ijah. Biasanya Mas Karyo mengajak beli makanan atau lauk untuk makan malam. Tapi kan ga perlu jauh-jauh ke Sayati?

“Ada deeeh, mau beli sesuatu” Jawab Mas Karyo. Jawaban Mas Karyo terdengar mantap dan ada nada bahagia. Mendadak hati Teh Ijah berdesir. Wah jangan jangan…

Teh Ijah tersenyum sepanjang jalan. Detak jantungnya terasa lebih cepat. Mas Karyo memang romantis. Mas Karyo memang sedang banyak uang, Teh Ijah tahu itu. Mungkin Mas Karyo baru kepikiran ingin membuat kejutan untuk Teh Ijah. Sepertinya Mas Karyo akan memberikan hadiah perhiasan emas. Ah tak perlu sebesar gelang ceu mar, cincin 5 gram saja sudah membuatku senang pikir Teh Ijah senyum-senyum sendiri diboncengan Mas Karyo. Bayangan Mas Karyo menyuruhnya memilih cincin dan disambut oleh Teh Ijah dengan pelukan dan ciuman spontan di depan para pelayan toko emas yang tersenyum iri pada mereka. Oh, so sweet… pikir Teh Ijah. Hati Teh Ijah berbunga-bunga.

Toko emas pertama… lewat! Ah, di sini kan ada lebih dari 10 toko emas, pikir Teh Ijah menghibur diri. Toko emas kedua… lewat juga. Teh Ijah sedikit menahan napas. Tapi tenang toko emas langganan Teh Ijah ada di depan sana. Omigod, ternyata lewat juga. Perasaan Teh Ijah mulai tidak karuan. Penasaran.

“Pah, sebenarnya kita mau kemana sih?” Tanya Teh Ijah tak sabar.

“Udah diem aja, nanti juga tahu,” sahut Mas Karyo tenang.

Tiba-tiba motor belok dan parkir. Teh Ijah turun dan sedikit bingung. Ini bukan toko emas tapi toko sepeda!

“Mau ngapain Pah kita ke sini?” Teh Ijah masih bingung.

“Ya beli sepedalah! Masa mau beli baso?! Mumpung ada rezeki kita beliin Sinta sepeda, biar seneng.” Ucap Mas Karyo dengan senyum lebar.

Ada kecewa di wajah Teh Ijah tetapi sedetik kemudian hatinya merasa sejuk… suaminya itu ternyata sangat perhatian. Tidak pernah terpikirkan oleh Teh Ijah membelikan sepeda untuk anaknya. Yang ada dipikiran Teh Ijah hanya membeli emas, makan-makan, dan ke salon.

“Sana Mamah aja yang nawar yah!” kata mas Karyo.

Teh Ijah tersenyum dan mengangguk penuh semangat. Beberapa saat kemudian transaksi selesai. Begtu selesai serah terima, Teh Ijah bingung. Bawanya gimana? Pake angkot susah. Dibonceng motor lebih susah lagi. Sepeda ini ukurannya cukup besar.

“Pah..? Bawanya gimana?”

“Mamah aja yang goes sepedanya, aku ngikutin dari belakang.” Kata Mas Karyo sambil nyengir.

“Yang bener aja Pah? Dari sini ke rumah tuh jaraknya lebih dari 10 KM!”

“Ya habis mau gimana lagi? Itung-itung olahraga, kamu kan udah lama ngga olahraga! Ha ha ha” Kata Mas Karyo ngakak melihat wajah Teh Ijah yang cemberut.

“Ah ga mau ah! Papah mah curang!” Teh Ijah kesal, bayangan cincin emas berkilauan itu berubah menjadi sepeda pink yang ternyata harus dikayuhnya pula! Huft.

“Udah malam nih. Kasihan anak-anak. Kalau Mamah capek, kita berhenti sebentar. Nanti aku traktir bajigur Duren deh.”

Teh Ijah kembali berbinar membayangkan mereka minum bajigur duren berdua. Romantis! Akhirnya Teh Ijah pun mengayuh sepedanya dengan penuh semangat. Terima kasih ya Allah, kau berikan Mas Karyo sebagai jodohku!



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

4 comments:

Rohmat K said...

as usual, your plot is alway flow, you'r good in narration, the ending is so unperdictable. but i always wondering, why do you never declare yourself as a writer, you have tallent for that. U know I wish I had the same tallent like u, i've tried hard for being so, but in the end i ain't a writer yet an illustrator, i'm stuck nowhere. anyway ... good job i like it, can't wait to read your other work.

Unknown said...

selalu terkagum sama karya Nno.. indaaah... menarik...

Seandainya lan bisa nulis kaya Nno...

*berharap*

Rednino said...

@ometto kun:
your words move me
you're good in making one happy and proud,
though you're better than me.
I need your critic

Rednino said...

dear ulan who always be a modest...
your writings are much better than me
I like your poetries and also the stories...
I think I'm in love with your blog :)

Post a Comment