Bolero

AKU hanya bisa terduduk lemas di samping Bunda yang terbaring dan penuh luka… bukan hanya luka tapi aku tahu persis, dia tak mungkin bisa pulih seperti semula. Aku lelah setelah berteriak-teriak, merebut obat dari suster dan akhirnya aku harus berebut dengan pasien lain. Aku benar-benar tidak percaya hari ini benar-benar terjadi dalam hidupku. Aku berharap ini hanya mimpi… tapi aku tidak bisa memutar waktu kembali. Andai waktu dapat kuputar kembali mungkin aku tidak akan menunda perjalanan kami ke Jakarta untuk menengok kakakku yang baru saja melahirkan. Kulihat kondisi kesehatan Bunda sedang tidak fit, lagi pula kakakku masih berada di rumah sakit, aku tidak tega jika harus membawa Bunda keluar masuk rumah sakit… Bunda tidak suka bau rumah sakit, karena Bunda pernah dirawat begitu lama dengan menahan sakit, stress menghadapi amputasi yang harus dijalaninya. Aku yang memutuskan semuanya. Aku putuskan menunda sampai hari Minggu. Dan siang ini rencananya aku ingin membawa Bunda ke dokter. Tapi Bunda justru terbaring di halaman rumah sakit di bawah terik matahari.

Sabtu, 27 Mei 2006 Pagi
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Aku menyiapkan air panas untuk Bunda mandi. Sambil menunggu Bunda selesai mandi, aku merapikan rumah. Maklum kami tidak punya pembantu, hanya Mbak Marni, suster Bunda yang selalu mengurus Bunda dari pagi sampai sore setiap hari. Catering selalu datang sebelum setengah tujuh pagi.

Selesai mandi, Bunda duduk di ruang tengah. Di ruang tengah kami terdapat taman, tempat anggrek-anggrek Bunda tumbuh, kolam yang berisi dua ekor ikan koi, dan juga air mancur yang aku buat sesuai keinginan Bunda. Aku masuk ke kamar setelah melihat Bunda mulai asyik membaca koran. Selesai mandi aku mengenakan celana capri dan double tee-top dengan bolero biru kesayanganku yang dipilihkan Bunda untukku saat kami ke Bandung. Seperti biasa, setiap pagi aku berdoa di altar. Selain mengucap syukur aku juga selalu memohon kesembuhan Bunda. Aku tidak ingin masa tuanya dilewatkan hanya dengan pergi ke dokter dan rutin minum obat.
Di saat aku berdoa, aku merasakan kepalaku sedikit pusing, badanku seperti melayang. Saat aku membuka mata bersama itu pula lukisan di dinding kamar jatuh, foto-foto, dan buku-buku berjatuhan…. Rumah kami seperti bergoyang ke kiri dan ke kanan. Aku baru menyadari ini gempa. Dan bukan gempa biasa! Aku mendengar Bunda berteriak-teriak memanggilku…
“Nita…! Nita…! Gempa! Nitaaa!”
Aku semakin panik... Aku berusaha membuka pintu kamar tapi tidak bisa, padahal aku tidak menguncinya… Aku melihat sekeliling. Berantakan! Dan sudut-sudut dinding kamarku retak.
“Bun… Nita nggak bisa keluar!”
“Mbak Dewi!” aku memanggil kakak iparku, tapi tidak ada jawaban.
“Nitaaa!” Kudengar suara Bunda makin parau dan ketakutan. Aku semakin panik. Aku angkat kursi dan kudobrak pintu sampai akhirnya terbuka. Aku segera berlari ke arah Bunda yang sedang mencoba berjalan merayap ke dinding dengan tertatih… Aku tidak menyangka di luar kamar lebih berantakan. Eternit sebagian runtuh. Bunda menuju pintu samping melalui dapur… aku segera berlari ke arahnya.
“Bunda!” Bunda tidak menoleh, dia terus berjalan berpegang dinding rumah. Saat Bunda melewati pintu samping, braakkkkk! Terdengar suara benda jatuh dengan keras.
“Bundaaaa!” Aku segera melompat.
Tapi terlambat, kulihat Bunda sudah tergeletak dan potongan bagian depan atap teras samping telah menimpa badannya. Kudengar orang-orang berlarian menuju ke arah jalan raya. Rupanya para tetangga yang berdiri di jalan dan melihat Bunda tertimpa atap menjerit dan meneriaki kami agar segera pergi. Bagaimana kami bisa pergi sedangkan Bunda tertindih atap dan mereka tidak mau datang menolong! Aku langsung mengangkat bagian atap itu dari atas tubuh bunda. Dan aku segera mengangkat Bunda menuju ke jalan. Tempat orang-orang yang sedang berlari kearah kami, seolah ingin memberi pertolongan. Kenapa pertolongan selalu datang terlambat?! Ke mana mereka tadi?! Kakak dan kakak iparku kulihat telah berjejer di antara orang-orang itu bersama anak-anak mereka. Keterlaluan! Mereka tahu Bunda masih berada di dalam, tetapi kenapa tidak berusaha membawa Bunda? Mas Anton kakakku berusaha meraih Bunda dari tanganku.
“Sini, Ta!”
“Buat apa?! Tidak usah! Percuma! Kau puas sekarang lihat Bunda begini! Kamu tahu Bunda masih di dalam kenapa malah menyelamatkan diri kamu sendiri?” Aku berkata sambil menangis keras. Bunda pingsan dalam gendonganku. Pak Benny meraih Bunda dari tanganku.
“Aku panik, Nit, aku bener-bener nggak ingat!”
“Tidak usah alasan! Dari tadi Bunda berteriak-teriak, nggak mungkin kamu nggak denger!”
“Sudahlah, tidak ada gunanya saling menyalahkan, sekarang bagaimana kalau kita bawa Ibu Tuti ke rumah sakit,” kata Bu Niken.
“Braaakkkk!” Suara-suara itu terus terdengar seperti bersahut-sahutan…satu-demi satu rumah roboh. Gempa telah reda.
Aku merasakan kakiku sakit. Ternyata kakiku berdarah karena terkena serpihan reruntuhan yang berserakan.
Baru aku sadari tidak hanya bundaku yang terluka, tetapi Melza anak kecil yang biasa kugoda itu kepalanya berdarah dan pipinya lecet-lecet. Ibunya memeluknya sambil menangis. Perih sekali kelihatannya. Aku hanya menatapnya sambil menahan isak tangis. Perasaan marah, ketakutan, penyesalan, bercampur jadi satu. Saat itu terlihat orang-orang datang sambil membopong beberapa tubuh.
Ternyata orang-orang yang ditolong tersebut sudah meninggal. Mereka kost di Mawar II/No. 7. Mereka sedang tidur pulas saat terjadi gempa. Tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Akhirnya kami membawa Bunda ke rumah sakit Bethesda. Di sana telah banyak sekali pasien yang dirawat. Kami tidak bisa masuk, justru pasien-pasien berhamburan keluar dari dalam rumah sakit. Berdasar informasi kondisi rumah sakit pun mengkhawatirkan, mereka takut tertimpa bangunan jika gempa kembali datang. Semua wajah terlihat sangat ketakutan. Tidak ada yang bisa tersenyum sedikitpun. Semua orang membayangkan hal yang terburuk yang akan terjadi. Aku pun merasa kejadian ini tidak berhenti sampai di sini.
Aku membersihkan luka Bunda dengan boleroku. Setiap kali aku memakai bolero ini Bunda selalu tersenyum lebih manis dibanding biasanya. Bunda bilang aku cantik.
Saat para perawat datang, kami meneriaki mereka. Aku mengejar seorang suster,
“Suster, tolong Ibu saya, Sus, dia pingsan!”
“Maaf, Mbak, di sini pasien kami sangat banyak. Tapi Mbak jangan khawatir nanti pasti Ibu Mbak dapat giliran dirawat. Kami sedang mendahulukan korban yang kritis dan luka berat.”
Aku terus mengikuti langkah suster itu.
“Tapi Sus, Ibu saya juga terluka parah, dia tertimpa atap rumah, Sus…” aku menangis keras.
“Iya, Mbak sabar aja.”
Mendengar kata-kata suster dadaku sesak. Aku harus sabar?
“Bunda saya sudah tua, Sus! Saya takut ada tulangnya yang patah.”
Tapi suster itu sudah tidak menghiraukan aku lagi. Dia sibuk menolong salah satu pasien wanita yang sangat mengenaskan. Mata kirinya berdarah dan lebam. Daging bagian lengan kiri atas menganga. Daging yang tersobek terlihat jelas. Telinganya pun mengeluarkan darah kental dan pekat. Tubuhku terasa gemetar. Aku nyaris menjerit melihatnya. Seorang laki-laki menangis seperti anak kecil di sampingnya, mungkin suami wanita itu. Aku ingin sekali bertanya kenapa bisa sampai begitu? Tetapi kubatalkan.
Laki-laki itu segera merebahkan kepalanya dekat kepala istrinya itu.
“Ma, Ferry udah ninggalin kita, Ma! Kamu jangan tinggalin aku! Aku sama siapa, Ma?! Ferry Ma… Ferry…! Kita nggak jadi nganterin dia masuk TK, Ma! Dia nggak jadi sekolah, Ma!” lelaki itu terus menangis sambil berteriak-teriak memanggil nama Ferry. Merinding aku mendengarnya. Rupanya anak mereka telah meninggal.
Aku tidak kuat mendengar tangisan mereka. Aku baru sadar sejak tadi aku berdiri di sini seperti tersihir.
Aku segera kembali ke tempat Bunda terbaring beralas kasur yang diambil Mas Anton dari dalam rumah sakit. Pasien semakin banyak dan terus berdatangan. Ada Ibu yang sedang hamil dan mengalami pendaharan. Saat aku mendekat ke arah Bunda melintas di depan kami beberapa orang membawa korban dengan kepala hampir putus. Aku tidak tahan melihat ini semua. Aku memeluk kakak iparku. Aku tidak mengerti dengan semua ini. Kami seperti ada di alam lain, bukan di Yogya yang damai.
Aku menutup dahi Bunda dengan boleroku. Hari semakin siang, perawat itu belum juga menghampiri kami dan merawat Bunda. Kepalaku pusing mendengar banyak jeritan kesakitan di sana-sini.
Aku coba menghubungi dokter Bunda. Tapi dia sedang berada di Semarang. Aku putus asa. Ketika ada seorang perawat yang lewat, aku meminta supaya Bunda didahulukan, tapi dia tidak bersedia karena harus merawat pasien yang luka berat. Seorang keluarga pasien lainnya ikut memohon. Aku merebut obat-obatan dari perawat itu. Plester, perban, rivanol, betadine aku rebut darinya. Tapi Ibu di sebelahku merebut dan mengambil betadine dan perban, kami saling berebut. Perawat itu akhirnya kembali masuk ke dalam rumah sakit.
Kami mengobati Bunda. Aku membersihkan luka lecetnya. Paha kanan Bunda lebam. Mas Anton pun bercerita saat dia mengambil kasur dan selimut dari dalam rumah sakit, dia berebut dengan seorang Ibu, tentu saja Mas Anton yang menang. Memang di saat seperti ini rasanya semua orang menjadi egois. Kami semua korban, dan kami ingin tertolong. Aku pun membersihkan luka bekas paku yang menusuk telapak kakiku.

Sabtu, 27 Mei 2006 Sore
Aku melihat Bunda sudah terlihat lebih baik. Bunda tidak merintih lagi. Lukanya sudah aku bersihkan. Akhirnya kami semua saling membantu, tentu saja pasien dengan luka ringan. Bahkan aku dan Ibu yang berebut obat denganku pun saling menolong.

Sabtu, 27 Mei 2006, Malam
Tersiar kabar bahwa akan terjadi lagi gempa susulan malam ini. Kami semua bersiap. Malam ini Bunda mendapat giliran dirawat setelah berkali-kali aku memohon. Menurut perawat itu, kaki kanan Bunda patah. Aku merasa terpukul walau telah menduga sebelumnya. Aku menangis dan meminta maaf pada Bunda. Aku merasa bersalah atas semua yang terjadi. Bunda hanya tersenyum dan mengusap rambutku. Kami semua bermaaf-maafan.
Aku membetulkan bolero yang menutup dahi dan telinga Bunda supaya tidak dingin. Ternyata gempa yang kami khawatirkan tidak terjadi, hanya gempa-gempa kecil.

Minggu, 28 Mei 2006, Pagi
Semalam, kami semua tidak tidur. Selain karena rintihan dan jeritan pasien masih terdengar, kami juga khawatir terjadi gempa dahsyat lagi. Semua takut terjadi tsunami, aku pun sempat merasa khawatir. Aku mencari minuman hangat. Aku membawakan teh manis hangat dan sedotan untuk Bunda.
“Bunda… ini teh hangat, diminum dulu.”
Aku mengarahkan sedotan itu ke bibir bunda. Bunda tersenyum, tangannya meraih tanganku. Dia membisikkan sesuatu. Aku mendekatkan telingaku.
“Hati-hati ya, Nita.”
Tangan Bunda menggenggam erat tanganku. Bunda memejamkan matanya sambil tersenyum. Genggamannya kurasakan semakin kuat. Matanya masih terpejam dan bibirnya masih tersenyum. Sesaat kemudian aku menyadari tangan Bunda tak bergerak. Dan setelah kulihat badannya tidak bergerak naik turun, aku terkesiap.
“Bunda.” Aku mencoba memanggilnya. Sama sekali tidak ada reaksi.
“Bundaaaaa….!” Aku mengguncang tubuhnya.
Aku terus memanggilnya, walaupun aku tahu Bunda sudah pergi.
Aku memanggil Mas Anton sambil berteriak berkali-kali. Dia tidak muncul juga.
Setengah jam berlalu Mas Anton belum juga datang.
Setelah perawat mengurus jenazah bunda, Mas Anton baru datang.
Dia menangis dan memanggil-manggil Bunda. Tangisku pun semakin menjadi dan kami berpelukan. Sebenarnya aku ingin marah pada Mas Anton.

Minggu, 28 Mei 2006, Siang
Dengan memakai bolero biru dari Bunda, aku mengantar Bunda ke peristirahatan terakhirnya. Bolero ini meninggalkan kenangan yang menyakitkan untukku. Aku tidak akan mencucinya, aku akan menyimpannya sebagai salah satu kenangan dari Bunda. Bolero ini menyisakan noda dari luka Bunda. Tapi kuharap luka hati Bunda pada Mas Anton yang ditahannya sekian tahun telah sembuh. Aku gagal memperbaiki hubungan mereka.

Selasa, 30 Mei 2006 Pagi
Aku telah tiba di Jakarta. Kutinggalkan Yogya yang porak poranda. Kutinggalkan semua kenangan buruk itu. Tetapi, tetap saja hati dan pikiranku tidak bisa lepas dari Bunda. Aku selau memikirkannya. Akulah yang bersalah. Seandainya aku tidak menunda perjalanan kami, mungkin saat ini kami masih bisa saling bicara dan bercanda….

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 comments:

Rednino said...

cerita ini aku tulis tahun 2006.

Post a Comment