Aku Tetap Menunggu

Sore ini adalah hari bahagia buat kakakku karena dia dinyatakan positif hamil oleh dokter. Benny juga terlihat sangat bahagia, dia menciumi kakakku berkali-kali. Syukurlah ternyata ketakutanku tidak terjadi. Melihat kondisi kakakku aku tidak yakin dia bisa hamil secepat ini.
Hari demi hari aku simak keseharian mereka. Kandungan Lona semakin besar, menginjak bulan ke empat dia harus memakai kursi roda, karena kakinya tidak mampu menopang kehamilannya. Aku terharu melihat Benny yang dengan setia membantu dan banyak melayani keperluan Lona.

Sejenak terbersit penyesalan karena telah meninggalkan Benny. Seandainya aku dapat menguasai emosiku, mungkin saat ini kami berdua yang mengalami kebahagiaan ini. Tapi ... tidak! Aku tidak boleh menyesal. Lona pantas mendapatkannya. Sejak kecil dia minder dengan kekurangan fisiknya. Dilahirkan sebagai anak kembar bagi kami sangat berat. Banyak hal yang ingin kulakukan bersamanya tapi tak mungkin. Hal lain yang kurang aku sukai adalah secara tidak sadar orang sering membandingkan kami berdua. Aku beruntung karena tubuhku sempuma. Tapi dalam hal prestasi belajar aku kurang. Dulu aku bercita-cita menjadi dokter, tapi nilaiku tidak memungkinkan.
Aku masuk perguruan tinggi swasta temama di kotaku. Di sinilah aku bertemu Benny. Di sinilah pertama kalinya dia bicara denganku, sampai akhirnya kami ‘saling bicara’ selama dua tahun lamanya. Dan tiga bulan yang lalu adalah terakhir kalinya dia bicara padaku. Saat itu dia menyadari betapa terlukanya hatiku dengan pengkhianatan yang dilakukannya. Selama ini kami telah saling mengenal dan saling percaya. Bahkan kami punya komitmen untuk masa depan kami berdua, ternyata semua itu sampah!
Malam itu tiba-tiba aku ingin datang ke kostannya, walaupun kemarin kami baru bertemu dan aku jarang ke kostnya apalagi pada malam hari. Dia sama sekali tidak menyangka aku datang ke tempat kostnya malam itu. Kamar-kamar yang saling berhadapan itu terlihat masih sibuk dengan aktivitas orang-orang di dalamnya. Terdengar suara televisi, beberapa orang berbicara, ada yang bermain gitar di luar, aku hanya menyapa dengan senyum. Dadaku berdegup kencang ketika aku lihat ada sepatu yang biasa dia pakai dan sepasang sepatu wanita di depan pintu kamarnya. Entah kenapa aku tidak segera mengetuk pintu. Aku coba dengarkan pembicaraan mereka di balik pintu yang tertutup rapat itu. Aku tidak mendengarkan apa-apa, sepi, hanya terdengar suara musik. Tidak berapa lama aku mendengar mereka berbicara dengan berbisik, aku tidak mendengar jelas. Yang jelas aku merasakan tubuhku meregang dan gemetar, aku meraih ponsel menelponnya. Aku agak menjauh dari kamamya. Agak lama baru diangkat.
“Ada di mana?”
“Ada di kostan. Ada apa?” Nada bicaranya terdengar beda.
“Bisa nggak datang ke rumahku sekarang?”
“Oh, mmm… Bisa, tapi nanti jam sembilan, gimana?”
“Kalau sekarang?”
“Aku nggak bisa, aku lagi ada kerjaan. Tunggu satu jam lagi yah!”
“Kamu ama siapa di kostan?”
“Aku sendirian, kenapa?”
“Ah, nggak. Ya udah aku tunggu ya?”
Menurut Jefry tetangga sebelah kamarnya cewek itu datang dari jam lima sore tadi. Cewek itu lumayan sering datang. Aku terus menunggu. Aku kembali mendekat ke pintu kamar. Aku coba mengetuk pintu tiga kali tapi tidak ada reaksi.
“Kamu nggak usah aku antar ya? Nola udah nunggu.”
“Oke,” kata cewek itu. Pintu kamar dibuka kuncinya.
Benny dan Sarah terkejut bukan main melihat aku sudah di depan pintu. Tapi aku yang paling shock, kupikir wanita yang bersamanya tidak kukenal, ternyata aku sudah mengenalnya. Walaupun tidak begitu akrab. Aku tidak bisa bicara apa-apa, hanya gemetar yang aku rasakan. Benny terlihat pucat dan gugup.
“Kok kamu ada di sini, La?”
“Mmm, sorry nggak pamit dulu sama kamu, tadi Benny aku mintain tolong ngerjain tugas,” Sarah menyambung kalimat Benny.
“Aku sudah satu jam lebih di sini mendengarkan kalian mengerjakan tugas di dalam.” Aku seolah kehilangan emosiku, aku tak bisa apa-apa hanya gemetar yang kurasakan.
“La, aku memang salah, tapi aku akan jelaskan padamu, ini salah paham.”
“Memang aku telah salah paham Ben, maafkan aku. Aku telah salah menilaimu selama ini. Kupikir sikapmu terhadapku dan keluarga memang tulus dari hatimu.”
“La, cuma kamu yang kucintai! Cintaku tulus, La!”
“Sudahlah Ben, aku malu. Aku malu sama Papa, Mama, juga Lona. Aku malu pada diriku sendiri. Baru kusadari aku ini bodoh.”
“La, maafkan aku! Sungguh!” Benny berlutut dan memeluk kaki kiriku.
Jefry dan teman-temannya yang sedang berkumpul segera keluar mendengar pembicaraan kami. Mereka menonton dialog kami sejak awal.
“Ben, please lepasin! Kamu nggak pantas begini!”
‘’Nggak La, aku nggak akan lepasin sebelum kamu memaafkan aku,” Dia memohon dengan mata berkaca-kaca. Aku diam beberapa saat.
“Oke, aku maafin. Tapi bangunlah!” kataku tenang. Dan dia menuruti kata-kataku.
“Terima kasih, La.” Air matanya ada yang meleleh di pipi. Dia hendak meraih tanganku tapi aku menghindar.
“Aku maafkan semua kesalahanmu. Tapi bukan berarti aku bisa menerimamu kembali. Memaafkan itu mudah, tapi untuk melupakan rasa sakit itu sangat sulit, Ben. Aku tidak mau sakit hati, Ben. Jadi, lebih baik kau biarkan aku sendiri dan aku pun tidak akan pernah mengusikmu lagi.”
“La, beri aku kesempatan sekali lagi, aku akan buktikan cintaku benar-benar tulus padamu.”
“Ben, sudahlah, aku capek, aku mau pulang.” Aku melangkah tapi aku teringat sesuatu dan berbalik lagi. Aku melihat Sarah yang terlihat bingung.
“Sarah kelihatannya kau wanita baik-baik, aku tidak menyangka akhlakmu sebejat itu!” Sarah hanya menunduk.
Aku langsung melangkah pergi. Benny mengejarku. Dia berhasil meraih tanganku.
“Dengar. Aku memang salah dan aku akan menebus kesalahanku. Aku akan lakukan apa pun yang kau mau,” suaranya parau.
“Aku kecewa Ben, aku tidak menyangka kamu tega berbuat ini padaku! Kau khianati aku! Kau khianati kepercayaan Papa! Aku benci!” Aku menepiskan tangannya dan segera masuk mobil. Dia berusaha mencegahku dan terus bicara bahwa dia tidak bermaksud menyakitiku, tapi aku tidak peduli.
Aku mengemudikan mobilku dengan kecepatan tinggi yang kuinginkan aku segera sampai ke rumah agar aku bisa bebas menangis. Aku malu pada Papa jika tahu hal ini. Papa banyak bicara pada kami tentang masa depan kami nanti, telah banyak nasihat papa yang kurekam dalam memoriku. Aku dibesarkan dalam lingkungan agamis dan ternyata orang yang telah Papa percaya itu seorang pengkhianat.

Tiga bulan lalu, saat terakhir kali dia bicara denganku, dia menjelaskan segalanya. Ternyata dia punya masa lalu yang tidak menyenangkan. Dia pernah tinggal di Singapura bersama tantenya dan sekolah di sana. Saat umurnya 14 tahun, tantenya menyeretnya ke dunia dewasa yang tidak sewajarnya. Awalnya dia mendapat ancaman tidak boleh berlibur ke Indonesia untuk bertemu orang tuanya. Tentu saja dia takut. Beberapa kali orang tuanya menelpon tidak pernah dibiarkan bicaranya padanya. Sampai akhirnya dia menikmati dunianya yang baru itu. Dulu dia sangat mencintai tantenya itu. Tapi batas cinta dan benci itu begitu tipis, jadi saat ia mengetahui tantenya berhubungan dengan pria lain, ia sangat terpukul dan memutuskan kembali ke Indonesia. Saat bertemu denganku ia yakin aku adalah wanita yang tepat untuk menjadi istrinya. Walaupun saat itu dia belum bisa lepas dari bayang-bayang ‘dunia’nya yang dulu, tapi dia tidak ingin menghancurkan hidupku. Dia mencintaiku, dan akulah cinta sejatinya. Ia berjanji untuk berubah, ia mulai mendalami agama, tapi niat baiknya mendapat banyak ujian. Sarah hadir dalam hidupnya dan kembali membangkitkan suasana dalam dunianya yang dulu. Dia masuk ke dalamnya. Tapi dia tidak ingin melepaskanku. Dia sangat mencintaiku. Setiap kali bersama Sarah selalu dia merasa bersalah. Dia datang padaku di saat tak ada seorang pun yang dapat mendengarkan pengakuannya. Aku tak bisa berbuat apapun dengan semua pengakuannya itu. Aku tidak tahu apa aku harus percaya atau tidak. Aku masih belum yakin, aku masih kecewa. Tapi dia berjanji akan membuktikan cintanya padaku seumur hidupnya. Bullshit! Apa dia tahu betapa besar sakit dan siksa yang menderaku?

Seminggu kemudian dia melamar kakakku Lona. Papa terkejut. Mungkin sebelumnya Benny telah mengajak Lona bicara sehingga Lona mau menerimanya. Akhirnya Papa dan Mama datang padaku untuk memberitahukan pemikaBen mereka. Mereka pun menikah sebulan kemudian.

Terus terang aku merasa aneh awalnya. Hari ke hari kuperhatikan perlakuan Benny terhadap Lona sangat baik. Kurasa Benny sangat mencintai Lona. Benny dengan sabar melayani Lona yang tengah hamil. Menemani Lona berbelanja keperluan bayi. Sibuk menyiapkan kamar bayi. Sehabis makan malam biasanya Lona menyempatkan waktu untuk bermain piano, dan Benny selalu setia menemani. Tatapan matanya tak pernah lepas dari Lona. Bahkan pembantu di rumah sering kulihat tersenyum bahagia me1ihat mereka. Lalu aku? Jujur saja, aku cemburu. Haruskah aku tersenyum untuk kebahagiaan kakakku? Atau aku harus menangis untuk Benny. Aku merasa Benny telah melupakan aku. Tapi aku bisa apa? Aku berada dekat dengan mereka, tapi tak seorang pun mengajakku bicara. Aku jadi merasa asing dengan mereka. Aku ingin menangis, tapi aku tak punya air mata lagi saat ini. Ah, mungkin memang dengan cara inilah Benny bisa berubah. Walaupun janjinya untuk membuktikan cintanya padaku tak kan pernah ditepatinya ....

Hari sudah mulai malam, setelah bermain piano, Benny segera mengantarkan istrinya masuk ke kamar. Aku jadi merasa sangat kesepian, Papa dan Mama sedang ke luar kota. Selalu begini setiap malam. Aku sedih karena tidak seorang pun tahu yang sebenarnya terjadi padaku. Seandainya waktu bisa berputar dan kembali ke masa tiga bulan yang lalu... Akh, aku terlalu sering berkhayal demikian.

Benny keluar dari kamar. Tidak biasanya, dia menyalakan televisi. Sudah pukul sebelas malam. Dia seperti orang yang gelisah, memindah-mindah channelterus-menerus sampai beberapa saat. Seolah memang dia tidak ingin menonton televisi. Tiba-tiba dia menoleh ke arahku, menatapku sesaat kemudian kembali melihat ke layar televisi. Dia berjalan menuju lemari es di dekat meja makan dan mengambil air minum. Sambil memegang gelas dia menghampiriku. Aku penasaran tapi sedikit senang dia mau mendekat. Sejenak dia menatapku begitu lama, aku menunggu.

“La, aku selalu mencintaimu. Kau tetap cinta sejatiku, La. Maafkan aku sudah mengkhianatimu. Tapi aku tidak bisa lari dari semua ini. Aku akan penuhi janjiku untuk membuktikan cintaku padamu. Setiap menatap Lona aku seperti sedang menatapmu, La. Mungkin jika denganmu, kau akan lebih banyak berbuat untukku seperti saat kita pacaran dulu. Tapi aku memang harus menebus kesalahanku, aku rela dan ikhlas melayani Lona selamanya, aku akan setia. Tapi kesetiaan hatiku hanya untukmu, La.”
Oh, aku senang sekali mendengarnya. Kupikir dia tidak akan bicara padaku lagi. Dan ternyata dia bilang dia mencintaiku dan kesetiaannya hanya untukku. Air matanya mengalir... ah, Benny...

“La, anak-anak yang terlahir nanti adalah anak-anakmu juga. Karena setiap saat yang kuingat hanyalah dirimu. Aku selalu menyebutkan namamu dalam hatiku. Aku tak bisa mencintai Lona karena kalian berbeda. Dan setiap kebersamaan kami adalah karenamu. Aku tidak akan berkhayal lagi untuk menunggu keajaiban yang tidak mungkin. Aku akan mencoba realistis. Aku ingin kau yakin bahwa aku mencintaimu. Doakan kuliahku cepat selesai, ya. Aku ingin waktu dapat berputar lebih cepat, agar aku lebih cepat tua dan segera dapat bersamamu. Aku yakin saat itu pasti akan tiba. Sesuai janjiku. Aku akan mencintaimu sepenuhnya. Biarlah saat ini aku mencintaimu dengan cara yang lain. Aku tidak ingin kau sakit lagi. Kuharap kau benar¬benar memaafkan kesalahanku padamu. Aku hampir gila waktu itu. Tapi aku tak berdaya menentang nasib. Aku harus penuhi janjiku.”

Air matanya mengalir deras. Aku terharu mendengarnya. Seandainya sejak dulu kau ucapkan itu. Ah, tapi tidak mungkin! Kalau aku memafkanmu saat itu mungkin hubunganmu dengan Sarah tetap berlanjut. Saat ini aku mulai percaya padanya tapi belum sepenuhnya. Aku masih penasaran dengan kehidupannya juga dengan pembuktian cintanya.
“Ben, maafkan aku. Aku yang harus minta maaf. Aku terlalu mencintaimu dan terlalu berharap besar padamu. Seandainya waktu itu aku tidak kalap mungkin semua ini tidak akan terjadi. Aku sengaja menancap gas dan menabrak pagar jembatan itu. Aku tidak dapat berpikir apapun. Aku tidak ingin memikirkanmu lagi. Tapi ternyata aku tetap mengingatmu, aku tetap penasaran dengan kehidupanmu. Ben, boleh kan aku terus di sini? Aku ingin selalu bersama-mu, Ben.”
Dia diam saja, tidak menjawab. Gelas itu masih tetap di tangan kanannya. Matanya masih tetap menatapku. Percuma aku bicara padanya dia tidak akan pemah mendengarku. Tapi Ben, aku akan selalu bersamamu. Aku akan tetap menunggu kau menepati janjimu. Jangan pernah pindahkan lukisan ini. Aku selalu di sini untuk menunggumu...

By Rednino

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment