Aku Hanya

By Rednino

Aku hanya sedang tersesat
Aku hanya sedang buta
Aku hanya sedang terhimpit
Aku hanya sedang takut

Aku hanya sedang menyakiti diri
Aku hanya sedang penasaran
Aku hanya baru saja sadar
Aku hanya sedang menyesal

Aku hanya tidak bisa menolong diriku sendiri
Aku hanya bisa berharap
Aku hanya bisa menunggu
Aku hanya benar-benar lelah…

Aku hanya sedang suutreeeezzzzz... :)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Jika Cinta Telah Tiba Waktunya


09 Maret 2011
By Rednino

Ketika cinta telah tiba pada waktunya
Bibir tak dapat mengeja
Tangan tak dapat meraba
Telinga tak mendengar suara

Merah yang sekeping serpih
Ternyata tak dapat lagi memilih

Jika cinta telah tiba waktunya
Tak mungkin dapat menghindar darinya

Sebentuk impian itu mungkin sirna
Hilang oleh sebentuk lain yang lebih nyata
Ketika hati telah menunjuknya
Tak ada yang sanggup berkata


hehe ya sudah jalani saja….

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Aku Tetap Menunggu

Sore ini adalah hari bahagia buat kakakku karena dia dinyatakan positif hamil oleh dokter. Benny juga terlihat sangat bahagia, dia menciumi kakakku berkali-kali. Syukurlah ternyata ketakutanku tidak terjadi. Melihat kondisi kakakku aku tidak yakin dia bisa hamil secepat ini.
Hari demi hari aku simak keseharian mereka. Kandungan Lona semakin besar, menginjak bulan ke empat dia harus memakai kursi roda, karena kakinya tidak mampu menopang kehamilannya. Aku terharu melihat Benny yang dengan setia membantu dan banyak melayani keperluan Lona.

Sejenak terbersit penyesalan karena telah meninggalkan Benny. Seandainya aku dapat menguasai emosiku, mungkin saat ini kami berdua yang mengalami kebahagiaan ini. Tapi ... tidak! Aku tidak boleh menyesal. Lona pantas mendapatkannya. Sejak kecil dia minder dengan kekurangan fisiknya. Dilahirkan sebagai anak kembar bagi kami sangat berat. Banyak hal yang ingin kulakukan bersamanya tapi tak mungkin. Hal lain yang kurang aku sukai adalah secara tidak sadar orang sering membandingkan kami berdua. Aku beruntung karena tubuhku sempuma. Tapi dalam hal prestasi belajar aku kurang. Dulu aku bercita-cita menjadi dokter, tapi nilaiku tidak memungkinkan.
Aku masuk perguruan tinggi swasta temama di kotaku. Di sinilah aku bertemu Benny. Di sinilah pertama kalinya dia bicara denganku, sampai akhirnya kami ‘saling bicara’ selama dua tahun lamanya. Dan tiga bulan yang lalu adalah terakhir kalinya dia bicara padaku. Saat itu dia menyadari betapa terlukanya hatiku dengan pengkhianatan yang dilakukannya. Selama ini kami telah saling mengenal dan saling percaya. Bahkan kami punya komitmen untuk masa depan kami berdua, ternyata semua itu sampah!
Malam itu tiba-tiba aku ingin datang ke kostannya, walaupun kemarin kami baru bertemu dan aku jarang ke kostnya apalagi pada malam hari. Dia sama sekali tidak menyangka aku datang ke tempat kostnya malam itu. Kamar-kamar yang saling berhadapan itu terlihat masih sibuk dengan aktivitas orang-orang di dalamnya. Terdengar suara televisi, beberapa orang berbicara, ada yang bermain gitar di luar, aku hanya menyapa dengan senyum. Dadaku berdegup kencang ketika aku lihat ada sepatu yang biasa dia pakai dan sepasang sepatu wanita di depan pintu kamarnya. Entah kenapa aku tidak segera mengetuk pintu. Aku coba dengarkan pembicaraan mereka di balik pintu yang tertutup rapat itu. Aku tidak mendengarkan apa-apa, sepi, hanya terdengar suara musik. Tidak berapa lama aku mendengar mereka berbicara dengan berbisik, aku tidak mendengar jelas. Yang jelas aku merasakan tubuhku meregang dan gemetar, aku meraih ponsel menelponnya. Aku agak menjauh dari kamamya. Agak lama baru diangkat.
“Ada di mana?”
“Ada di kostan. Ada apa?” Nada bicaranya terdengar beda.
“Bisa nggak datang ke rumahku sekarang?”
“Oh, mmm… Bisa, tapi nanti jam sembilan, gimana?”
“Kalau sekarang?”
“Aku nggak bisa, aku lagi ada kerjaan. Tunggu satu jam lagi yah!”
“Kamu ama siapa di kostan?”
“Aku sendirian, kenapa?”
“Ah, nggak. Ya udah aku tunggu ya?”
Menurut Jefry tetangga sebelah kamarnya cewek itu datang dari jam lima sore tadi. Cewek itu lumayan sering datang. Aku terus menunggu. Aku kembali mendekat ke pintu kamar. Aku coba mengetuk pintu tiga kali tapi tidak ada reaksi.
“Kamu nggak usah aku antar ya? Nola udah nunggu.”
“Oke,” kata cewek itu. Pintu kamar dibuka kuncinya.
Benny dan Sarah terkejut bukan main melihat aku sudah di depan pintu. Tapi aku yang paling shock, kupikir wanita yang bersamanya tidak kukenal, ternyata aku sudah mengenalnya. Walaupun tidak begitu akrab. Aku tidak bisa bicara apa-apa, hanya gemetar yang aku rasakan. Benny terlihat pucat dan gugup.
“Kok kamu ada di sini, La?”
“Mmm, sorry nggak pamit dulu sama kamu, tadi Benny aku mintain tolong ngerjain tugas,” Sarah menyambung kalimat Benny.
“Aku sudah satu jam lebih di sini mendengarkan kalian mengerjakan tugas di dalam.” Aku seolah kehilangan emosiku, aku tak bisa apa-apa hanya gemetar yang kurasakan.
“La, aku memang salah, tapi aku akan jelaskan padamu, ini salah paham.”
“Memang aku telah salah paham Ben, maafkan aku. Aku telah salah menilaimu selama ini. Kupikir sikapmu terhadapku dan keluarga memang tulus dari hatimu.”
“La, cuma kamu yang kucintai! Cintaku tulus, La!”
“Sudahlah Ben, aku malu. Aku malu sama Papa, Mama, juga Lona. Aku malu pada diriku sendiri. Baru kusadari aku ini bodoh.”
“La, maafkan aku! Sungguh!” Benny berlutut dan memeluk kaki kiriku.
Jefry dan teman-temannya yang sedang berkumpul segera keluar mendengar pembicaraan kami. Mereka menonton dialog kami sejak awal.
“Ben, please lepasin! Kamu nggak pantas begini!”
‘’Nggak La, aku nggak akan lepasin sebelum kamu memaafkan aku,” Dia memohon dengan mata berkaca-kaca. Aku diam beberapa saat.
“Oke, aku maafin. Tapi bangunlah!” kataku tenang. Dan dia menuruti kata-kataku.
“Terima kasih, La.” Air matanya ada yang meleleh di pipi. Dia hendak meraih tanganku tapi aku menghindar.
“Aku maafkan semua kesalahanmu. Tapi bukan berarti aku bisa menerimamu kembali. Memaafkan itu mudah, tapi untuk melupakan rasa sakit itu sangat sulit, Ben. Aku tidak mau sakit hati, Ben. Jadi, lebih baik kau biarkan aku sendiri dan aku pun tidak akan pernah mengusikmu lagi.”
“La, beri aku kesempatan sekali lagi, aku akan buktikan cintaku benar-benar tulus padamu.”
“Ben, sudahlah, aku capek, aku mau pulang.” Aku melangkah tapi aku teringat sesuatu dan berbalik lagi. Aku melihat Sarah yang terlihat bingung.
“Sarah kelihatannya kau wanita baik-baik, aku tidak menyangka akhlakmu sebejat itu!” Sarah hanya menunduk.
Aku langsung melangkah pergi. Benny mengejarku. Dia berhasil meraih tanganku.
“Dengar. Aku memang salah dan aku akan menebus kesalahanku. Aku akan lakukan apa pun yang kau mau,” suaranya parau.
“Aku kecewa Ben, aku tidak menyangka kamu tega berbuat ini padaku! Kau khianati aku! Kau khianati kepercayaan Papa! Aku benci!” Aku menepiskan tangannya dan segera masuk mobil. Dia berusaha mencegahku dan terus bicara bahwa dia tidak bermaksud menyakitiku, tapi aku tidak peduli.
Aku mengemudikan mobilku dengan kecepatan tinggi yang kuinginkan aku segera sampai ke rumah agar aku bisa bebas menangis. Aku malu pada Papa jika tahu hal ini. Papa banyak bicara pada kami tentang masa depan kami nanti, telah banyak nasihat papa yang kurekam dalam memoriku. Aku dibesarkan dalam lingkungan agamis dan ternyata orang yang telah Papa percaya itu seorang pengkhianat.

Tiga bulan lalu, saat terakhir kali dia bicara denganku, dia menjelaskan segalanya. Ternyata dia punya masa lalu yang tidak menyenangkan. Dia pernah tinggal di Singapura bersama tantenya dan sekolah di sana. Saat umurnya 14 tahun, tantenya menyeretnya ke dunia dewasa yang tidak sewajarnya. Awalnya dia mendapat ancaman tidak boleh berlibur ke Indonesia untuk bertemu orang tuanya. Tentu saja dia takut. Beberapa kali orang tuanya menelpon tidak pernah dibiarkan bicaranya padanya. Sampai akhirnya dia menikmati dunianya yang baru itu. Dulu dia sangat mencintai tantenya itu. Tapi batas cinta dan benci itu begitu tipis, jadi saat ia mengetahui tantenya berhubungan dengan pria lain, ia sangat terpukul dan memutuskan kembali ke Indonesia. Saat bertemu denganku ia yakin aku adalah wanita yang tepat untuk menjadi istrinya. Walaupun saat itu dia belum bisa lepas dari bayang-bayang ‘dunia’nya yang dulu, tapi dia tidak ingin menghancurkan hidupku. Dia mencintaiku, dan akulah cinta sejatinya. Ia berjanji untuk berubah, ia mulai mendalami agama, tapi niat baiknya mendapat banyak ujian. Sarah hadir dalam hidupnya dan kembali membangkitkan suasana dalam dunianya yang dulu. Dia masuk ke dalamnya. Tapi dia tidak ingin melepaskanku. Dia sangat mencintaiku. Setiap kali bersama Sarah selalu dia merasa bersalah. Dia datang padaku di saat tak ada seorang pun yang dapat mendengarkan pengakuannya. Aku tak bisa berbuat apapun dengan semua pengakuannya itu. Aku tidak tahu apa aku harus percaya atau tidak. Aku masih belum yakin, aku masih kecewa. Tapi dia berjanji akan membuktikan cintanya padaku seumur hidupnya. Bullshit! Apa dia tahu betapa besar sakit dan siksa yang menderaku?

Seminggu kemudian dia melamar kakakku Lona. Papa terkejut. Mungkin sebelumnya Benny telah mengajak Lona bicara sehingga Lona mau menerimanya. Akhirnya Papa dan Mama datang padaku untuk memberitahukan pemikaBen mereka. Mereka pun menikah sebulan kemudian.

Terus terang aku merasa aneh awalnya. Hari ke hari kuperhatikan perlakuan Benny terhadap Lona sangat baik. Kurasa Benny sangat mencintai Lona. Benny dengan sabar melayani Lona yang tengah hamil. Menemani Lona berbelanja keperluan bayi. Sibuk menyiapkan kamar bayi. Sehabis makan malam biasanya Lona menyempatkan waktu untuk bermain piano, dan Benny selalu setia menemani. Tatapan matanya tak pernah lepas dari Lona. Bahkan pembantu di rumah sering kulihat tersenyum bahagia me1ihat mereka. Lalu aku? Jujur saja, aku cemburu. Haruskah aku tersenyum untuk kebahagiaan kakakku? Atau aku harus menangis untuk Benny. Aku merasa Benny telah melupakan aku. Tapi aku bisa apa? Aku berada dekat dengan mereka, tapi tak seorang pun mengajakku bicara. Aku jadi merasa asing dengan mereka. Aku ingin menangis, tapi aku tak punya air mata lagi saat ini. Ah, mungkin memang dengan cara inilah Benny bisa berubah. Walaupun janjinya untuk membuktikan cintanya padaku tak kan pernah ditepatinya ....

Hari sudah mulai malam, setelah bermain piano, Benny segera mengantarkan istrinya masuk ke kamar. Aku jadi merasa sangat kesepian, Papa dan Mama sedang ke luar kota. Selalu begini setiap malam. Aku sedih karena tidak seorang pun tahu yang sebenarnya terjadi padaku. Seandainya waktu bisa berputar dan kembali ke masa tiga bulan yang lalu... Akh, aku terlalu sering berkhayal demikian.

Benny keluar dari kamar. Tidak biasanya, dia menyalakan televisi. Sudah pukul sebelas malam. Dia seperti orang yang gelisah, memindah-mindah channelterus-menerus sampai beberapa saat. Seolah memang dia tidak ingin menonton televisi. Tiba-tiba dia menoleh ke arahku, menatapku sesaat kemudian kembali melihat ke layar televisi. Dia berjalan menuju lemari es di dekat meja makan dan mengambil air minum. Sambil memegang gelas dia menghampiriku. Aku penasaran tapi sedikit senang dia mau mendekat. Sejenak dia menatapku begitu lama, aku menunggu.

“La, aku selalu mencintaimu. Kau tetap cinta sejatiku, La. Maafkan aku sudah mengkhianatimu. Tapi aku tidak bisa lari dari semua ini. Aku akan penuhi janjiku untuk membuktikan cintaku padamu. Setiap menatap Lona aku seperti sedang menatapmu, La. Mungkin jika denganmu, kau akan lebih banyak berbuat untukku seperti saat kita pacaran dulu. Tapi aku memang harus menebus kesalahanku, aku rela dan ikhlas melayani Lona selamanya, aku akan setia. Tapi kesetiaan hatiku hanya untukmu, La.”
Oh, aku senang sekali mendengarnya. Kupikir dia tidak akan bicara padaku lagi. Dan ternyata dia bilang dia mencintaiku dan kesetiaannya hanya untukku. Air matanya mengalir... ah, Benny...

“La, anak-anak yang terlahir nanti adalah anak-anakmu juga. Karena setiap saat yang kuingat hanyalah dirimu. Aku selalu menyebutkan namamu dalam hatiku. Aku tak bisa mencintai Lona karena kalian berbeda. Dan setiap kebersamaan kami adalah karenamu. Aku tidak akan berkhayal lagi untuk menunggu keajaiban yang tidak mungkin. Aku akan mencoba realistis. Aku ingin kau yakin bahwa aku mencintaimu. Doakan kuliahku cepat selesai, ya. Aku ingin waktu dapat berputar lebih cepat, agar aku lebih cepat tua dan segera dapat bersamamu. Aku yakin saat itu pasti akan tiba. Sesuai janjiku. Aku akan mencintaimu sepenuhnya. Biarlah saat ini aku mencintaimu dengan cara yang lain. Aku tidak ingin kau sakit lagi. Kuharap kau benar¬benar memaafkan kesalahanku padamu. Aku hampir gila waktu itu. Tapi aku tak berdaya menentang nasib. Aku harus penuhi janjiku.”

Air matanya mengalir deras. Aku terharu mendengarnya. Seandainya sejak dulu kau ucapkan itu. Ah, tapi tidak mungkin! Kalau aku memafkanmu saat itu mungkin hubunganmu dengan Sarah tetap berlanjut. Saat ini aku mulai percaya padanya tapi belum sepenuhnya. Aku masih penasaran dengan kehidupannya juga dengan pembuktian cintanya.
“Ben, maafkan aku. Aku yang harus minta maaf. Aku terlalu mencintaimu dan terlalu berharap besar padamu. Seandainya waktu itu aku tidak kalap mungkin semua ini tidak akan terjadi. Aku sengaja menancap gas dan menabrak pagar jembatan itu. Aku tidak dapat berpikir apapun. Aku tidak ingin memikirkanmu lagi. Tapi ternyata aku tetap mengingatmu, aku tetap penasaran dengan kehidupanmu. Ben, boleh kan aku terus di sini? Aku ingin selalu bersama-mu, Ben.”
Dia diam saja, tidak menjawab. Gelas itu masih tetap di tangan kanannya. Matanya masih tetap menatapku. Percuma aku bicara padanya dia tidak akan pemah mendengarku. Tapi Ben, aku akan selalu bersamamu. Aku akan tetap menunggu kau menepati janjimu. Jangan pernah pindahkan lukisan ini. Aku selalu di sini untuk menunggumu...

By Rednino

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bolero

AKU hanya bisa terduduk lemas di samping Bunda yang terbaring dan penuh luka… bukan hanya luka tapi aku tahu persis, dia tak mungkin bisa pulih seperti semula. Aku lelah setelah berteriak-teriak, merebut obat dari suster dan akhirnya aku harus berebut dengan pasien lain. Aku benar-benar tidak percaya hari ini benar-benar terjadi dalam hidupku. Aku berharap ini hanya mimpi… tapi aku tidak bisa memutar waktu kembali. Andai waktu dapat kuputar kembali mungkin aku tidak akan menunda perjalanan kami ke Jakarta untuk menengok kakakku yang baru saja melahirkan. Kulihat kondisi kesehatan Bunda sedang tidak fit, lagi pula kakakku masih berada di rumah sakit, aku tidak tega jika harus membawa Bunda keluar masuk rumah sakit… Bunda tidak suka bau rumah sakit, karena Bunda pernah dirawat begitu lama dengan menahan sakit, stress menghadapi amputasi yang harus dijalaninya. Aku yang memutuskan semuanya. Aku putuskan menunda sampai hari Minggu. Dan siang ini rencananya aku ingin membawa Bunda ke dokter. Tapi Bunda justru terbaring di halaman rumah sakit di bawah terik matahari.

Sabtu, 27 Mei 2006 Pagi
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Aku menyiapkan air panas untuk Bunda mandi. Sambil menunggu Bunda selesai mandi, aku merapikan rumah. Maklum kami tidak punya pembantu, hanya Mbak Marni, suster Bunda yang selalu mengurus Bunda dari pagi sampai sore setiap hari. Catering selalu datang sebelum setengah tujuh pagi.

Selesai mandi, Bunda duduk di ruang tengah. Di ruang tengah kami terdapat taman, tempat anggrek-anggrek Bunda tumbuh, kolam yang berisi dua ekor ikan koi, dan juga air mancur yang aku buat sesuai keinginan Bunda. Aku masuk ke kamar setelah melihat Bunda mulai asyik membaca koran. Selesai mandi aku mengenakan celana capri dan double tee-top dengan bolero biru kesayanganku yang dipilihkan Bunda untukku saat kami ke Bandung. Seperti biasa, setiap pagi aku berdoa di altar. Selain mengucap syukur aku juga selalu memohon kesembuhan Bunda. Aku tidak ingin masa tuanya dilewatkan hanya dengan pergi ke dokter dan rutin minum obat.
Di saat aku berdoa, aku merasakan kepalaku sedikit pusing, badanku seperti melayang. Saat aku membuka mata bersama itu pula lukisan di dinding kamar jatuh, foto-foto, dan buku-buku berjatuhan…. Rumah kami seperti bergoyang ke kiri dan ke kanan. Aku baru menyadari ini gempa. Dan bukan gempa biasa! Aku mendengar Bunda berteriak-teriak memanggilku…
“Nita…! Nita…! Gempa! Nitaaa!”
Aku semakin panik... Aku berusaha membuka pintu kamar tapi tidak bisa, padahal aku tidak menguncinya… Aku melihat sekeliling. Berantakan! Dan sudut-sudut dinding kamarku retak.
“Bun… Nita nggak bisa keluar!”
“Mbak Dewi!” aku memanggil kakak iparku, tapi tidak ada jawaban.
“Nitaaa!” Kudengar suara Bunda makin parau dan ketakutan. Aku semakin panik. Aku angkat kursi dan kudobrak pintu sampai akhirnya terbuka. Aku segera berlari ke arah Bunda yang sedang mencoba berjalan merayap ke dinding dengan tertatih… Aku tidak menyangka di luar kamar lebih berantakan. Eternit sebagian runtuh. Bunda menuju pintu samping melalui dapur… aku segera berlari ke arahnya.
“Bunda!” Bunda tidak menoleh, dia terus berjalan berpegang dinding rumah. Saat Bunda melewati pintu samping, braakkkkk! Terdengar suara benda jatuh dengan keras.
“Bundaaaa!” Aku segera melompat.
Tapi terlambat, kulihat Bunda sudah tergeletak dan potongan bagian depan atap teras samping telah menimpa badannya. Kudengar orang-orang berlarian menuju ke arah jalan raya. Rupanya para tetangga yang berdiri di jalan dan melihat Bunda tertimpa atap menjerit dan meneriaki kami agar segera pergi. Bagaimana kami bisa pergi sedangkan Bunda tertindih atap dan mereka tidak mau datang menolong! Aku langsung mengangkat bagian atap itu dari atas tubuh bunda. Dan aku segera mengangkat Bunda menuju ke jalan. Tempat orang-orang yang sedang berlari kearah kami, seolah ingin memberi pertolongan. Kenapa pertolongan selalu datang terlambat?! Ke mana mereka tadi?! Kakak dan kakak iparku kulihat telah berjejer di antara orang-orang itu bersama anak-anak mereka. Keterlaluan! Mereka tahu Bunda masih berada di dalam, tetapi kenapa tidak berusaha membawa Bunda? Mas Anton kakakku berusaha meraih Bunda dari tanganku.
“Sini, Ta!”
“Buat apa?! Tidak usah! Percuma! Kau puas sekarang lihat Bunda begini! Kamu tahu Bunda masih di dalam kenapa malah menyelamatkan diri kamu sendiri?” Aku berkata sambil menangis keras. Bunda pingsan dalam gendonganku. Pak Benny meraih Bunda dari tanganku.
“Aku panik, Nit, aku bener-bener nggak ingat!”
“Tidak usah alasan! Dari tadi Bunda berteriak-teriak, nggak mungkin kamu nggak denger!”
“Sudahlah, tidak ada gunanya saling menyalahkan, sekarang bagaimana kalau kita bawa Ibu Tuti ke rumah sakit,” kata Bu Niken.
“Braaakkkk!” Suara-suara itu terus terdengar seperti bersahut-sahutan…satu-demi satu rumah roboh. Gempa telah reda.
Aku merasakan kakiku sakit. Ternyata kakiku berdarah karena terkena serpihan reruntuhan yang berserakan.
Baru aku sadari tidak hanya bundaku yang terluka, tetapi Melza anak kecil yang biasa kugoda itu kepalanya berdarah dan pipinya lecet-lecet. Ibunya memeluknya sambil menangis. Perih sekali kelihatannya. Aku hanya menatapnya sambil menahan isak tangis. Perasaan marah, ketakutan, penyesalan, bercampur jadi satu. Saat itu terlihat orang-orang datang sambil membopong beberapa tubuh.
Ternyata orang-orang yang ditolong tersebut sudah meninggal. Mereka kost di Mawar II/No. 7. Mereka sedang tidur pulas saat terjadi gempa. Tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Akhirnya kami membawa Bunda ke rumah sakit Bethesda. Di sana telah banyak sekali pasien yang dirawat. Kami tidak bisa masuk, justru pasien-pasien berhamburan keluar dari dalam rumah sakit. Berdasar informasi kondisi rumah sakit pun mengkhawatirkan, mereka takut tertimpa bangunan jika gempa kembali datang. Semua wajah terlihat sangat ketakutan. Tidak ada yang bisa tersenyum sedikitpun. Semua orang membayangkan hal yang terburuk yang akan terjadi. Aku pun merasa kejadian ini tidak berhenti sampai di sini.
Aku membersihkan luka Bunda dengan boleroku. Setiap kali aku memakai bolero ini Bunda selalu tersenyum lebih manis dibanding biasanya. Bunda bilang aku cantik.
Saat para perawat datang, kami meneriaki mereka. Aku mengejar seorang suster,
“Suster, tolong Ibu saya, Sus, dia pingsan!”
“Maaf, Mbak, di sini pasien kami sangat banyak. Tapi Mbak jangan khawatir nanti pasti Ibu Mbak dapat giliran dirawat. Kami sedang mendahulukan korban yang kritis dan luka berat.”
Aku terus mengikuti langkah suster itu.
“Tapi Sus, Ibu saya juga terluka parah, dia tertimpa atap rumah, Sus…” aku menangis keras.
“Iya, Mbak sabar aja.”
Mendengar kata-kata suster dadaku sesak. Aku harus sabar?
“Bunda saya sudah tua, Sus! Saya takut ada tulangnya yang patah.”
Tapi suster itu sudah tidak menghiraukan aku lagi. Dia sibuk menolong salah satu pasien wanita yang sangat mengenaskan. Mata kirinya berdarah dan lebam. Daging bagian lengan kiri atas menganga. Daging yang tersobek terlihat jelas. Telinganya pun mengeluarkan darah kental dan pekat. Tubuhku terasa gemetar. Aku nyaris menjerit melihatnya. Seorang laki-laki menangis seperti anak kecil di sampingnya, mungkin suami wanita itu. Aku ingin sekali bertanya kenapa bisa sampai begitu? Tetapi kubatalkan.
Laki-laki itu segera merebahkan kepalanya dekat kepala istrinya itu.
“Ma, Ferry udah ninggalin kita, Ma! Kamu jangan tinggalin aku! Aku sama siapa, Ma?! Ferry Ma… Ferry…! Kita nggak jadi nganterin dia masuk TK, Ma! Dia nggak jadi sekolah, Ma!” lelaki itu terus menangis sambil berteriak-teriak memanggil nama Ferry. Merinding aku mendengarnya. Rupanya anak mereka telah meninggal.
Aku tidak kuat mendengar tangisan mereka. Aku baru sadar sejak tadi aku berdiri di sini seperti tersihir.
Aku segera kembali ke tempat Bunda terbaring beralas kasur yang diambil Mas Anton dari dalam rumah sakit. Pasien semakin banyak dan terus berdatangan. Ada Ibu yang sedang hamil dan mengalami pendaharan. Saat aku mendekat ke arah Bunda melintas di depan kami beberapa orang membawa korban dengan kepala hampir putus. Aku tidak tahan melihat ini semua. Aku memeluk kakak iparku. Aku tidak mengerti dengan semua ini. Kami seperti ada di alam lain, bukan di Yogya yang damai.
Aku menutup dahi Bunda dengan boleroku. Hari semakin siang, perawat itu belum juga menghampiri kami dan merawat Bunda. Kepalaku pusing mendengar banyak jeritan kesakitan di sana-sini.
Aku coba menghubungi dokter Bunda. Tapi dia sedang berada di Semarang. Aku putus asa. Ketika ada seorang perawat yang lewat, aku meminta supaya Bunda didahulukan, tapi dia tidak bersedia karena harus merawat pasien yang luka berat. Seorang keluarga pasien lainnya ikut memohon. Aku merebut obat-obatan dari perawat itu. Plester, perban, rivanol, betadine aku rebut darinya. Tapi Ibu di sebelahku merebut dan mengambil betadine dan perban, kami saling berebut. Perawat itu akhirnya kembali masuk ke dalam rumah sakit.
Kami mengobati Bunda. Aku membersihkan luka lecetnya. Paha kanan Bunda lebam. Mas Anton pun bercerita saat dia mengambil kasur dan selimut dari dalam rumah sakit, dia berebut dengan seorang Ibu, tentu saja Mas Anton yang menang. Memang di saat seperti ini rasanya semua orang menjadi egois. Kami semua korban, dan kami ingin tertolong. Aku pun membersihkan luka bekas paku yang menusuk telapak kakiku.

Sabtu, 27 Mei 2006 Sore
Aku melihat Bunda sudah terlihat lebih baik. Bunda tidak merintih lagi. Lukanya sudah aku bersihkan. Akhirnya kami semua saling membantu, tentu saja pasien dengan luka ringan. Bahkan aku dan Ibu yang berebut obat denganku pun saling menolong.

Sabtu, 27 Mei 2006, Malam
Tersiar kabar bahwa akan terjadi lagi gempa susulan malam ini. Kami semua bersiap. Malam ini Bunda mendapat giliran dirawat setelah berkali-kali aku memohon. Menurut perawat itu, kaki kanan Bunda patah. Aku merasa terpukul walau telah menduga sebelumnya. Aku menangis dan meminta maaf pada Bunda. Aku merasa bersalah atas semua yang terjadi. Bunda hanya tersenyum dan mengusap rambutku. Kami semua bermaaf-maafan.
Aku membetulkan bolero yang menutup dahi dan telinga Bunda supaya tidak dingin. Ternyata gempa yang kami khawatirkan tidak terjadi, hanya gempa-gempa kecil.

Minggu, 28 Mei 2006, Pagi
Semalam, kami semua tidak tidur. Selain karena rintihan dan jeritan pasien masih terdengar, kami juga khawatir terjadi gempa dahsyat lagi. Semua takut terjadi tsunami, aku pun sempat merasa khawatir. Aku mencari minuman hangat. Aku membawakan teh manis hangat dan sedotan untuk Bunda.
“Bunda… ini teh hangat, diminum dulu.”
Aku mengarahkan sedotan itu ke bibir bunda. Bunda tersenyum, tangannya meraih tanganku. Dia membisikkan sesuatu. Aku mendekatkan telingaku.
“Hati-hati ya, Nita.”
Tangan Bunda menggenggam erat tanganku. Bunda memejamkan matanya sambil tersenyum. Genggamannya kurasakan semakin kuat. Matanya masih terpejam dan bibirnya masih tersenyum. Sesaat kemudian aku menyadari tangan Bunda tak bergerak. Dan setelah kulihat badannya tidak bergerak naik turun, aku terkesiap.
“Bunda.” Aku mencoba memanggilnya. Sama sekali tidak ada reaksi.
“Bundaaaaa….!” Aku mengguncang tubuhnya.
Aku terus memanggilnya, walaupun aku tahu Bunda sudah pergi.
Aku memanggil Mas Anton sambil berteriak berkali-kali. Dia tidak muncul juga.
Setengah jam berlalu Mas Anton belum juga datang.
Setelah perawat mengurus jenazah bunda, Mas Anton baru datang.
Dia menangis dan memanggil-manggil Bunda. Tangisku pun semakin menjadi dan kami berpelukan. Sebenarnya aku ingin marah pada Mas Anton.

Minggu, 28 Mei 2006, Siang
Dengan memakai bolero biru dari Bunda, aku mengantar Bunda ke peristirahatan terakhirnya. Bolero ini meninggalkan kenangan yang menyakitkan untukku. Aku tidak akan mencucinya, aku akan menyimpannya sebagai salah satu kenangan dari Bunda. Bolero ini menyisakan noda dari luka Bunda. Tapi kuharap luka hati Bunda pada Mas Anton yang ditahannya sekian tahun telah sembuh. Aku gagal memperbaiki hubungan mereka.

Selasa, 30 Mei 2006 Pagi
Aku telah tiba di Jakarta. Kutinggalkan Yogya yang porak poranda. Kutinggalkan semua kenangan buruk itu. Tetapi, tetap saja hati dan pikiranku tidak bisa lepas dari Bunda. Aku selau memikirkannya. Akulah yang bersalah. Seandainya aku tidak menunda perjalanan kami, mungkin saat ini kami masih bisa saling bicara dan bercanda….

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mas Karyo yang Romantis

By Rednino

Usia pernikahan Teh Ijah dan Mas Karyo telah menginjak tahun ke 15. Menurut Teh Ijah, Mas Karyo itu suami yang romantis... tis… tis... “Mas Karyo ngga pernah lupa ulang tahun abi (saya). Setiap abi ulang tahun ga pernah keduluan orang lain. Jam 12 malam TENG langsung bangunin dan ngecup kening sambil bilang selamat ulang tahun ya Mah…” wajah Teh Ijah berbinar menceritakan keromantisan Mas Karyo.

Mendengar cerita teh Ijah, kening ceu mar berkerut. “Suami saya mah ga romantis, tapi dia selalu tahu apa yang saya suka. Bulan lalu dia ngajak saya jalan-jalan ke Sayati. Rencana awal sih nuker antingnya Inez yang ilang sebelah. Eh, pas udah dapet anting Inez sepasang, si Jun bilang sok mamah milih pingin beli apa? Kagetnya minta ampun saya dengernya teh. Apalagi lihat kalung yang gede-gede. Langsung aja melirik ke bagian kalung. Tapi jadi inget. Oh iya takut uangnya kurang, jangan-jangan cuma cukup buat beli cincin. Udah aja saya tanya budgetnya berapa ternyata cukup buat 8 gram emas putih. Ya udah jadi aja saya dapet gelang ini.” Ceu mar menggulung lengan panjangnya dan memperlihatkan sebuah gelang emas putih yang berkilau. Trink… trink… trink…

Teh Ijah menyimak dengan rasa penasaran dan kagum. Segera pikirannya menerawang… Seandainya Mas Karyo juga membelikannya gelang atau bahkan kalung. Ah sepertinya mustahil. Mimpi kali yeee… Semua perhiasannya dari mulai kalung yang besar dengan liontin yang sangat berat, gelang rantai yang kadang bikin pergelangannya pegel, anting yang membuat lubang tindikannya melebar, juga cincinnya yang berderet dengan tiap jarinya ada tiga cincin berkilauan… juga gelang kakinya yang membuat kedatangannya selalu diketahui orang lain karena bunyi gemerincingnya… semua itu dibelinya sendiri. Bukan dari Mas karyo. Sejenak Teh Ijah merasa sedih. Tetapi sekian detik kemudian, ia menghibur dirinya. Toh, menurut Teh Ijah, Mas Karyo memang romantis. Pernah suatu siang tiba-tiba Mas Karyo mengirimkan makan siang untuk Teh Ijah. Teh Ijah tidak menyangka suaminya sedemikian perhatian. Mengharukan…

Lamunan Teh ijah begitu dalam sehingga kelanjutan cerita tentang ketidakromantisan suami ceu mar yang ternyata diam-diam membelikan tanah untuk membuat kontrakan membuat ceu mar tercengang lantas kegirangan tak bisa disimaknya dengan baik. Mendadak Teh Ijah kangen berat pada Mas Karyo.

“Mar... yuk ah pulang udah sore, kasihan anak-anak.” Teh Ijah menghabiskan minumnya tak bersisa.

Tak terasa waktu semakin senja, mereka memutuskan untuk pulang meninggalkan café itu. Teh Ijah mengajak Ceu Mar untuk membeli pizza untuk anak-anak.

“Kamu ga beli sekalian buat anak-anak, Mar?” Tanya Teh Ijah.

Kening Ceu Mar berkerut, “Hadeeeuh! Jangar (sakit kelapa) Ijah! Saya kan mau beli tanah yang 600 meter itu! Kalau sekarang jajan, tanah itu ga akan kebeli!” Sahut Ceu Mar sambil menepuk keningnya. ‘Dasar tuan tanah, yang ada dipikirannya cuma beli tanah… tanah… dan tanah’ pikir Teh Ijah.

Setibanya di rumah, anak-anak tidak ada di rumah.

“Lho, Pah, anak-anak ke mana?”

“Ada di nenek. Nanti aja kita jemput. Sekarang kita ke Sayati yuk!” kata Mas Karyo.

Dengan motor mereka pergi menuju Sayati. Dalam perjalanan Teh Ijah penasaran.

“Emang beli apa Mas? Kenapa harus ke Sayati?” Tanya Teh Ijah. Biasanya Mas Karyo mengajak beli makanan atau lauk untuk makan malam. Tapi kan ga perlu jauh-jauh ke Sayati?

“Ada deeeh, mau beli sesuatu” Jawab Mas Karyo. Jawaban Mas Karyo terdengar mantap dan ada nada bahagia. Mendadak hati Teh Ijah berdesir. Wah jangan jangan…

Teh Ijah tersenyum sepanjang jalan. Detak jantungnya terasa lebih cepat. Mas Karyo memang romantis. Mas Karyo memang sedang banyak uang, Teh Ijah tahu itu. Mungkin Mas Karyo baru kepikiran ingin membuat kejutan untuk Teh Ijah. Sepertinya Mas Karyo akan memberikan hadiah perhiasan emas. Ah tak perlu sebesar gelang ceu mar, cincin 5 gram saja sudah membuatku senang pikir Teh Ijah senyum-senyum sendiri diboncengan Mas Karyo. Bayangan Mas Karyo menyuruhnya memilih cincin dan disambut oleh Teh Ijah dengan pelukan dan ciuman spontan di depan para pelayan toko emas yang tersenyum iri pada mereka. Oh, so sweet… pikir Teh Ijah. Hati Teh Ijah berbunga-bunga.

Toko emas pertama… lewat! Ah, di sini kan ada lebih dari 10 toko emas, pikir Teh Ijah menghibur diri. Toko emas kedua… lewat juga. Teh Ijah sedikit menahan napas. Tapi tenang toko emas langganan Teh Ijah ada di depan sana. Omigod, ternyata lewat juga. Perasaan Teh Ijah mulai tidak karuan. Penasaran.

“Pah, sebenarnya kita mau kemana sih?” Tanya Teh Ijah tak sabar.

“Udah diem aja, nanti juga tahu,” sahut Mas Karyo tenang.

Tiba-tiba motor belok dan parkir. Teh Ijah turun dan sedikit bingung. Ini bukan toko emas tapi toko sepeda!

“Mau ngapain Pah kita ke sini?” Teh Ijah masih bingung.

“Ya beli sepedalah! Masa mau beli baso?! Mumpung ada rezeki kita beliin Sinta sepeda, biar seneng.” Ucap Mas Karyo dengan senyum lebar.

Ada kecewa di wajah Teh Ijah tetapi sedetik kemudian hatinya merasa sejuk… suaminya itu ternyata sangat perhatian. Tidak pernah terpikirkan oleh Teh Ijah membelikan sepeda untuk anaknya. Yang ada dipikiran Teh Ijah hanya membeli emas, makan-makan, dan ke salon.

“Sana Mamah aja yang nawar yah!” kata mas Karyo.

Teh Ijah tersenyum dan mengangguk penuh semangat. Beberapa saat kemudian transaksi selesai. Begtu selesai serah terima, Teh Ijah bingung. Bawanya gimana? Pake angkot susah. Dibonceng motor lebih susah lagi. Sepeda ini ukurannya cukup besar.

“Pah..? Bawanya gimana?”

“Mamah aja yang goes sepedanya, aku ngikutin dari belakang.” Kata Mas Karyo sambil nyengir.

“Yang bener aja Pah? Dari sini ke rumah tuh jaraknya lebih dari 10 KM!”

“Ya habis mau gimana lagi? Itung-itung olahraga, kamu kan udah lama ngga olahraga! Ha ha ha” Kata Mas Karyo ngakak melihat wajah Teh Ijah yang cemberut.

“Ah ga mau ah! Papah mah curang!” Teh Ijah kesal, bayangan cincin emas berkilauan itu berubah menjadi sepeda pink yang ternyata harus dikayuhnya pula! Huft.

“Udah malam nih. Kasihan anak-anak. Kalau Mamah capek, kita berhenti sebentar. Nanti aku traktir bajigur Duren deh.”

Teh Ijah kembali berbinar membayangkan mereka minum bajigur duren berdua. Romantis! Akhirnya Teh Ijah pun mengayuh sepedanya dengan penuh semangat. Terima kasih ya Allah, kau berikan Mas Karyo sebagai jodohku!



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS