Saat Terbiasa Sunyi

Tidak terasa sudah hampir 2 bulan lebih aku di rumah. Menjadi pengangguran yang bener-bener nganggur. Dengan kondisiku yang sedang hamil 5 bulan, tidak banyak yang bisa aku lakukan. Aku di rumah dengan ibu, kakak, kakak ipar, dan Ghefi keponakanku. Ghefi satu-satunya yang bikin aku ga merasa sepi dan waktu berlalu begitu cepat tanpa terasa. Usianya baru 16 bulan, lucu banget. Saat aku menulis ini, Ghefi dan ibunya berlibur ke rumah neneknya di Klaten. Sepi. Aku sering sendirian di rumah akhir-akhir ini. Rencananya aku akan ke Sumpiuh tempat kakakku tanggal 8 nanti karena ada undangan pernikahan tanggal 10 Feb.
Meskipun biasanya ada ibu, tetapi tidak terlalu banyak conversation karena ibu sudah berkurang kepekaan indera pendegarannya. Sangat merepotkan karena ibu tidak mau menggunakan alat bantu dengar. Terkadang menyimpulkan sendiri atau mengira-ngira apa yang sedang disampaikan orang lain terhadapnya. Repotnya lagi kadang aku harus mengulang sampai 3x karena tidak mendengar bahkan harus dengan volume tinggi baru terdengar. Alasannya tidak mau menggunakan alat bantu dengar karena menurutnya jadi bising. Mungkin karena sudah terbiasa sepi jadi hanya suara-suara tertentu yang tertangkap telinga ibu. Begitu alat bantu dengar dipakai suara yang biasanya tidak terdengar jadi terdengar. Bahkan aku pernah coba langkah kakiku sendiri terdengar jelas.
Kasihan juga sebenarnya karena terkadang tidak bisa ngobrol dengan yang lain dengan nyaman. Hal positif yang bias diambil adalah ibu tidak ikut-ikutan ngerumpi, atau bicara tentang keburukan orang lain karena dia tidak mendengar. Misalnya terjadi sesuatu di lingkunganku yang jadi bahan pembicaraan, ibu tidak tahu. Kalau ada hal-hal penting misalnya ada orang meninggal atau sakit dan dirawat biasanya tetanggaku berbaik hati memberi tahu ibu.
Di saat bell pintu rusak, itu pun jadi masalah jika ibu di rumah sendirian, karena tamu-tamu yang dating batal bertamu hanya karena ibu tidak mendengar suara ketuk pintu dan panggilan dari luar. Pernah ada tamu terpaksa menunggu di teras cukup lama karena rumahnya jauh dan keperluannya sangat penting. Handphone nya bordering pun ibu kadang tidak mendengar kalau tidak diberitahu, biasanya handphone ibu disimpan di saku bajunya jadi saat ada panggilan bergetar. Terkadang juga Ibu tidak tahu kalau hujan.
Beberapa kasus berkurangnya pendengaran terkadang si penderita belum bisa sepenuhnya menerima kondisi tersebut, meskipun terkadang secara lisan mengakuinya. Ya, ibu sering bilang “aku tuh sekarang budeg, semenjak pingsan waktu itu” Padahal sebenarnya bukan karena pingsan, sebelum pingsan ibu sudah mulai berkurang pendengaran, bahkan dulu ketika kami mulai sadar ibu kurang mendengar langsung dibawa ke THT dan dinyatakan baik tidak ada masalah hanya factor usia dan salah satu kemungkinannya karena ibu sering mengkonsumsi obat dokter sejak dulu. Bukan karena pingsan. Adalagi teman ibu yang cerita ke ibu bahwa dia berkurang pendengaran karena suatu ketika bepergian dengan suami dan tiba-tiba ban mobil pecah dengan suara sangat keras, sejak itu dia jadi kurang peka pendegarannya, padahal jauh sebelum itupun sudah kurang mendengar. Mungkin mereka membuat suatu “kambing hitam” karena merasa belum bias menerima atau mungkin juga minder karena tidak semua orang seumuran mereka mengalami hal yang serupa.
Aku hanya berusaha untuk mengerti dan tetap sabar menghadapi setiap komunikasi dengan ibu. Terkadang sengaja aku pakaikan alat bantu dengar tapi tidak lama kemudian sudah dimatikan karena mungkin kurang nyaman. Kadang aku juga berpikir, nanti kalau aku tua dan seperti dia gimana ya?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment